TITIK terendah dalam kehidupan adalah sesuatu yang lumrah dialami manusia. Apalagi di tengah kondisi yang tidak sesuai dengan nurani. Pengalaman kelam juga mengajarkan manusia untuk menjadi manusia lebih kuat dan bijak dalam menghadapi setiap permasalahan dan godaan dunia di masa yang datang. Erlan Susanto meninggalkan dunia prostitusi dan memilih untuk meniti kehidupan yang baru.
Bagi kaum pria hidung belang, siapa yang tidak mengenal Erlan Susanto. Kakek berusia 67 tahun ini merupakan mantan germo yang cukup dikenal di Kota Tarakan. Di usianya yang sepuh, ia merasa menyesal pernah terjebak hitamnya godaan dunia.
Kini ia menghabiskan sisa hidup dengan membuka warung kopi sederhana. Erlan Susanto atau lebih akrab disapa Pak Erlan pernah mengelola lokalisasi kondang yang hingga sekarang masih eksis di Bumi Paguntaka.
Ia menceritakan, pengalaman kelamnya bermula saat ia tertarik dengan indahnya dunia malam. Melihat beberapa teman, yang dilihatnya sejahtera dengan pekerjaan yang mudah itu. Akhirnya ia mencoba peruntungan di bisnis prostitusi.
Erlan bukanlah seorang lelaki dengan ekonomi pas-pasan. Ambisius mencari apa yang diinginkannya menghilangkan akal sehatnya. Sehingga, ia kerap merasa tak puas dengan penghasilannya. Dari sebuah perusahaan minyak negara, Erlan menerima gaji yang besar. Namun, karena kurangnya rasa syukur, ia pun memberanikan diri terjun ke kerjaan sambilan, menjadi germo.
“Pertama kali itu faktornya bukan karena ekonomi, coba-coba akhirnya coba-coba itu jadi pekerjaan saya, tidak kepanasan dapat uang. Tahun 1987 saya terpengaruh dan coba-coba. Waktu itu gaji saya besar kalau biasanya orang seumuran saya terima gaji Rp 50 ribu setiap bulan, saya sudah pegang uang Rp 2 juta. Tapi karena rasa ingin lebih, akhirnya saya menjalani pekerjaan haram itu,” terangnya, (16/1).
Ia menerangkan sebenarnya menjadi germo sangat bertentangan dengan nurani. Tapi ambisi besar ingin menjadi kaya raya, akhirnya dia memfokuskan diri menggeluti bisnis prostitusi.
Ambisi menutup akal sehat, akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja agar lebih leluasa mengembangkan jaringannya tersebut.
“Waktu itu saya benar-benar menikmati kerjaan baru saya. Karena merasakan begitu mudahnya mencari uang dari pekerjaan ini. Saya peringatkan kepada anak muda sekarang jangan sekali-kali coba-coba di lembah hitam ini, karena kalau kita sudah terjebak sulit untuk keluar,” ujarnya.
Pria kelahiran Balikpapan 5 Mei 1951 tersebut, sebenarnya sejak seperempat abad lalu berniat untuk mengakhiri karir kelamnya. Bahkan tahun 1993 ia berniat menjual rumahnya yang pada saat itu berada di Gunung Bakso yang merupakan kawasan lokalisasi yang melegenda di Kota Tarakan.
“Saya 1993 sudah mau keluar dari Gunung Bakso. Waktu itu rumah saya mau dibeli dengan harga Rp 150 juta karena bisnis itu. Bayangkan uang Rp 150 juta tahun segitu. 1993 itu kalau rumah mewah Rp 50 juta saja sudah dapat kok. Padahal rumah saya tidak besar, tapi kenapa ditawar mahal. Karena, ada peluang usaha menjanjikan di situ,” kisahnya.
Namun usahanya untuk bertaubat harus tertunda dikarenakan pada tahun bersamaan berhembus wacana mengenai relokasi lokalisasi. sehingga, calon pembeli membatalkan niatnya dan pada akhirnya, usahanya untuk hidup lebih dekat dengan tuhan harus tertunda.
“Saya sudah ok. Begitu dengar ada rencana pemerintah mau relokasi, tidak jadi dibeli rumah saya. Akhirnya tidak jadi saya keluar dari sini. Sebenarnya dari tahun itu lubuk hati, saya sudah tidak nyaman kerja begini,” tuturnya.
Barulah di tahun 2009 ia sedikit bisa bernapas lega. Relokasi lokasisasi dari Gunung Bakso ke Sungai Bengawan yang sejak lama ia tunggu akhirnya dilakukan. Meski belum bisa keluar dari lingkungan prostitusi dan masih bermukim di komplek lokalisasi, setidaknya ia sedikit bersyukur karena sudah berhasil berhenti dan tidak melanjutkan kegiatannya lagi. Sehingga jika ada rekan atau orang terdekat yang tertarik meneruskan pekerjaannya ia selalu memperingatkan dengan keras.
“Saya bilang jangan coba-coba kamu masuk lembah hitam kamu pasti sulit keluar, kamu akan terlena dengan uang. Karena saya merasakan walaupun penghasilan saya besar, tapi saya tidak merasakan berkah. Semakin saya tua, saya benar-benar tidak menikmatinya,” tuturnya.
Meski demikian, hingga saat ini ia tidak pernah menceritakan kebahagiaannya kepada teman-teman germo yang masih menjalankan profesinya. “Saya tidak bisa menceritakan apa yang saya rasakan ke teman germo yang masih aktif. Karena nanti saya dikira menghina atau merendahkan, padahal saya pernah di dunia itu. Tapi kalau teman saya dari luar mau coba-coba masuk sini saya larang keras. Saya bilang cukup saya yang sudah pernah tercembur, kamu jangan,” terangnya.
Ia percaya, pekerjaan halal apapun yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh, pasti akan membawa keberkahan bagi pelakunya, dan sebaliknya berapa pun besarnya hasil pekerjaan haram pasti berdampak buruk bagi yang menjalankannya. Pepatah itu lahir dari pengalamannya. Banyak teman seprofesinya yang hingga kini terbaring sakit dan sekarang tidak punya harta benda lagi.
“Kalau kamu berhasil jualan rokok, jualan bensin, atau berjualan yang halal lainnya itu harus ditekuni. Karena, ada pengalaman teman sesama dulu dia berdagang halal kemudian berhasil bisa beli rumah kendaraan, sampai 3. Tapi karena kepingin lebih, dia coba-coba berjualan ‘daging mentah’ ini. Akhirnya dia jatuh sakit dan bangkrut. Karena uang dari hasil pekerjaan itu bersifat panas tidak bisa ditabung jadi berapa pun jumlahnya pasti habis dalam waktu singkat,” bebernya.
Di usianya yang sudah rentah, saat ini ia hanya berfokus untuk menikmati sisa umur dengan tenang. Sehingga adanya rencana penutupan lokalisasi tersebut, ia bersyukur karena selangkah lagi upayanya untuk keluar dari lingkungan prostitusi bisa terwujud.
“Saya sudah sangat cukup mengenal dunia hitam ini dan sekarang usia saya sudah 67. Walaupun saya sudah tidak membuka kafe lagi di sini, tapi saya benar-benar mau bebas dari lingkungan esek-esek ini. Makanya saya mendukung penuh rencana penutupan lokalisasi ini,” tutupnya.(*)
0 Comments