TARAKAN - Sempat viral di media sosial salah satu pakaian adat di uang kertas baru pecahan Rp 75.000 dalam rangka HUT Kemerdekaan RI diklaim netizen sebagai budaya Cina. Budayawan di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) meluruskan kesalahpahaman tersebut.
Budayawan Kaltara, Datu Norbeck menuturkan, pakaian atau busana yang diklaim pada uang Rp 75.000 ribu baru merupakan pakaian adat Tidung di Kaltara. Ia tegaskan tidak ada hubungannya dengan budaya Cina.
"Itu bagian dari busana pengantin, jadi baju itu pengapit pengantin," ungkap Datu Norbeck di kediamannya belum lama ini.
Dalam busana adat Tidung, terdapat beberapa kostum. Khusus yang ada di dalam uang baru dikatakan Datu Norbeck, termasuk dalam rangkaian pakaian sina beranti.
Sina beranti maksudnya cina berhenti. Namun, tapi tidak ada hubungannya dengan budaya Cina. Konon, suatu ketika baju itu awalnya tidak punya nama. Sampai suatu ketika orang ramai-ramai mengantar pengantin laki-laki ke tempat pengantin perempuan, ada serombongan orang cina baru datang.
"Mungkin mereka suka atau heran berhenti semua melihat serombongan pengantin ini, kejadian itu berkesan, jadi waktu berikutnya disebutlah baju yang mana baju yang itu cina berhenti. Dalam dialeg orang Tidung Tarakan disebut sina beranti," terangnya.
Kemudian, di dalam gambar pakaian adat Tidung pada uang baru, terlihat hanya bagian dada dan kepala yang terlihat mengenakan pakaian adat. Sehingga perhatian mata hanya tertuju pada topi yang dipakai anak-anak di dalam uang pecahan Rp 75.000 tersebut.
"Menjadi perhatian topinya, topi itu jamong pakaian khusus untuk kepala bersifat untuk kebesaran, mahkota. Jadi disebut jamong punsok melaka, punsok itu puncak melaka itu nanas, kalau yang di pakai pengantin punsoknya itu dua susun, kalau yang difoto hanya satu jadi pengapit pengantin," ujar Datu Norbeck.
Soal netizen mengaitkan dengan budaya Cina, dijelaskannya, itu akibat posisi foto dan mata anak yang mengenakan pakaian itu sipit seperti orang cina.
"Saya kira itu karena posisi foto ya, jadi image cina sebetulnya bukan, mata anak dalam foto itu sipit, macam anak cina. Sebab kalau budaya cina biasanya non Islam, zaman budaya Tidung baju itu muncul orang Tidung sudah Islam," tandasnya.
Datu Norbeck tak menampik budaya Tidung di Kaltara ada pengaruh melayu. Ia menilai imajinasi orang Tidung waktu itu lebih ke India, hanya saja secara genetik lebih dekat ke orang cina.
"Secara genetik tidak ada hubungannya dengan cina tapi secara individu ada yang nikah dengan orang cina, bugis, dan suku lainnya. Secara suku tidak ada hubungannya, Tidung ini merupakan rumpun murut, rumpun murut itu penduduk asli Kaltara, Sabah," kata Datu Norbeck.
Adapun filosofi baju adat Tidung memperlihatkan warna kuning dan sebagian merah dan bagian pada penutup kepala atau jamong, dipaparkan Datu Norbeck, sebatas jamong itu ada pusat ornamen ada lonjong telur kecil.
Dalam budaya orang Tidung telur ini bibit keturunan. Bahkan, ada legenda orang dari telur. Kemudian ada tumbuhan ini maknanya tumbuh berkembang.
Orang kawin akan menghasilkan keturunan dan akan berkembang, turun temurun. Selanjutnya, warna dominan kalau kuning khusus untuk bangsawan Tidung.
"Sering kita lihat kuning merah, aksesoris lapis merah, kuning dalam adat Tidung warna yang utama, dihormati, dimuliakan, diunggulkan, diagungkan, paling utama, yang boleh pakai warna kuning itu raja dan keluarganya," urainya,
"Merah biasa dipakai untuk alas apakah motif, atau yang dipajang supaya objek kelihatan lebih jelas, dimaknai untuk penegasan. Filosofis warna kuning merah itu orang ini sedang dalam status dimuliakan yang memakai ini seperti halnya pengantin," pungkasnya.
Datu Norbeck juga mengapresiasi keberadaan Bank Indonesia di Kaltara. Apalagi dengan dipilihnya pakaian adat Tidung tersebut. "Itu dampak positif ada cabang Bank Indonesia di Tarakan," tambahnya.(hk3)
0 Comments